Senin, 23 April 2012

HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN LANSIA TENTANG DIABETES MELLITUS DENGAN SIKAP DIET RENDAH GULA


BAB 1
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Penyakit diabetes mellitus (DM) adalah penyakit akibat terganggunya proses metabolisme gula darah di dalam tubuh, sehingga kadar gula dalam darah menjadi tinggi. Kadar gula dalam darah penderita diabetes saat puasa adalah lebih dari 126 mg/dl dan saat tidak puasa atau normal lebih dari 200 mg/dl. Sedangkan pada orang normal kadar gulanya berkisar 60-120 mg/dl. Secara normal karbohidrat dalam makanan yang kita makan akan diubah menjadi glukosa yang selanjutnya akan didistribusikan ke seluruh sel tubuh untuk dijadikan energi dengan bantuan insulin. Namun pada orang yang menderita kencing manis atau diabetes mellitus, glukosa sulit masuk ke dalam sel karena insulin dalam tubuh kurang atau tidak ada. Sehingga mengakibatkan kandungan glukosa dalam darah meningkat, dan pada gilirannya dapat menyebabkan akibat yang merugikan. Bagi orang yang menderita penyakit DM harus melaksanakan diet karbohidrat dengan cara 3J : Jumlah, Jadwal, Jenis. Jika orang yang menderita penyakit DM tidak melaksanakan diet, kadar gula dalam darah menjadi sangat tinggi setelah makan dan turun bila sedang puasa ( Engram, 2002). Masyarakat juga sering menyebutnya sebagai penyakit keturunan dan kutukan sehingga membawa dampak psikologis dan sosial (Dr. Indan Etjang, 2004). Sikap patuh dalam pengobatan penyakit DM merupakan hal yang paling penting untuk mencegah bertambah parahnya penyakit DM. Namun pada kenyataannya kepatuhan dalam
pengobatan penyakit DM justru masih menjadi salah satu masalah yang menimbulkan tantangan bagi penderita penyakit DM. Kejadian tersebut terlihat pada penderita DM di Desa Kalanganyar RW 04 Sedati Sidoarjo yang kebanyakan dari lansia tidak mengetahui tentang penyakit DM dan apa yang dimaksud dengan diet rendah gula.
Menurut survei organisasi kesehatan sedunia (WHO) terjadi peningkatan jumlah penyakit DM di Jakarta dari 1,7 % pada tahun 1981 menjadi 5,7%  pada tahun 1993.  Jumlah penderita penyakit DM di Indonesia sekitar 17 Juta orang (816 persen dari jumlah penduduk) atau menduduki urutan terbesar ke-4 setelah India, Cina dan Amerika Serikat (AS). International Diabetic Federation (IDF) mengestimasikan bahwa jumlah penduduk Indonesia usia 20 tahun ke atas menderita penyakit DM sebanyak 5,6 juta orang pada tahun 2001 dan akan meningkat menjadi 8,2 juta pada 2020, sedang survei Depkes 2001 terdapat 7,5 persen penduduk Jawa dan Bali menderita penyakit DM. Data Depkes menyebutkan jumlah penderita penyakit DM yang menjalani rawat inap dan jalan menduduki urutan ke-1 di rumah sakit dari keseluruhan pasien penyakit dalam (Health, Kamis 9 Juni 2005). Dari studi pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti dengan cara wawancara di Desa Kalanganyar RW 04 Sedati  Sidoarjo pada tanggal 23 November 2011 dari 15 lansia 5 orang pengetahuannya baik tentang penyakit DM, 2 orang cukup, 8 orang pengetahuannya kurang. Dari 5 orang yang pengetahuannya baik ada 3 orang sikapnya baik dalam melaksanakan diet rendah gula, dan 2 orang sikapnya cukup. Dari 8 orang yang berpengetahuan kurang ada 2 orang yang sikapnya baik dalam melaksanakan diet rendah gula, 1 orang sikapnya cukup, 5 orang sikapnya kurang.
Banyaknya lansia yang kurang pengetahuannya tentang penyakit DM pada dasarnya dipengaruhi oleh pendidikan yang rendah, informasi yang kurang dan juga, faktor usia karena banyak lansia yang menderita penyakit DM ketika usia sudah lanjut sehingga susah menerima informasi yang didapatkan. Hal ini jika diabaikan maka akan beresiko bertambah parahnya penyakit DM sehingga jatuh pada keadaan yang lebih berat dengan munculnya komplikasi penyakit dari DM. Dengan adanya pengetahuan yang kurang tentang penyakit DM maka banyak penderita yang tidak melakukan diet yang dianjurkan. Hal ini bisa dilihat dengan adanya banyak lansia yang menderita penyakit DM memiliki luka yang sembuhnya lama karena kadar gula darah tidak terkontrol.
Konsep solusi yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah ini salah satunya dengan upaya memberikan penjelasan dan pengetahuan masayarakat di Desa  Kalanganyar Sedati Sidoarjo khususnya penderita penyakit DM dan keluarga. Upaya tersebut dapat dilakukan dengan bekerja sama pada puskesmas wilayah terdekat untuk memberikan penyuluhan.
1.1  Rumusan Masalah
Berdasarkan data dan latar belakang diatas, maka dirumuskan masalah sebagai berikut : “ apakah ada hubungan tingkat pengetahuan lansia tentang DM dengan sikap diet rendah gula di Desa Kalanganyar RW 04 Sedati Sidoarjo?”



1.3    Tujuan penelitian
1.3.1    Tujuan Umum
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan tingkat pengetahuan lansia tentang DM dengan sikap diet rendah gula di Desa Kalanganyar RW 04 Sedati Sidoarjo
1.3.2    Tujuan Khusus
1.3.2.1 Mengidentifikasi lansia pada pasien DM di Desa Kalanganyar RW 04 Sedati Sidoarjo
1.3.2.2 Mengidentikasi sikap diet rendah gula di Desa Kalanganyar RW 04 Sedati Sidoarjo
1.3.2.3 Menganalisis hubungan tingkat pengetahuan tentang lansia diet rendah gula darah pada pasien DM di Desa Kalanganyar RW 04 Sedati Sidoarjo
1.4  Manfaat penelitian
1.4.1        Bagi peneliti
Menambah pengetahuan dan pemahaman peneliti terhadap konsep penyakit DM khususnya kepatuhan pengobatan penyakit DM yang merupakan salah satu bentuk upaya penanggulangan penyakit DM.
1.4.2        Bagi Responden
             Dapat menambah pengetahuan lansia, khususnya pada penderita DM dan pentingnya kepatuhan mengikuti pengobatan DM.
1.4.3        Bagi institusi
Sebagai masukan, Literature dan pengembangan pengetahuan bagi mahasiswa Akper Kerta Cendekia Sidoarjo
1.5    Batasan Penelitian
1.5.1    Ruang Lingkup
Ruang lingkup dalam penelitian ini adalah Hubungan tingkat pengetahuan lansia tentang diabetes mellitus dengan sikap diet rendah gula
1.5.2    Obyek Penelitian
Obyek penelitian ini adalah lansia di Desa Kalanganyar RW 04 Sedati Sidoarjo.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Pengetahuan
2.1.1 Pengertian pengetahuan
Pengetahuan merupakan hasil “ tahu “, dan ini terjadi setelah orang melakukan pengindraan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca indra manusia, yaitu: indra pengelihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga (Soekidjo: Notoatmojo, 2003).
2.1.2 Tingkat pengetahuan di dalam Domain Kongnitif
Menurut Notoatmojo, 2003 pengetahuan yang dicakup didalam domain kongnitif mempunyai 6 tingkat, yaitu:
2.1.2.1 Tahu ( Know / C1)
Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang dipelajari sebelumnya, termasuk dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali (recall) terhadap suatu yang sepesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. Oleh sebab itu tahu ini merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah. Kata kerja untuk mengukur bahwa orang tahu tentang apa yang telah dipelajari antara lain menyebutkan, menguraikan, mendefinisikan, menyatakan dan sebagainya.
2.1.2.2 Memahami ( Comperhesion / C2 )
Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara besar tentang obyek yang diketahui dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar. Orang yang telah paham terhadap obyek atau materi harus dapat menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan dan sebagainya terhadap obyek yang dipelajari.
2.1.2.3 Aplikasi ( Aplication / C3)
Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi riil (sebenarnya). Aplikasi ini dapat diartikan sebagai aplikasi atau penghukum, rumus, metode, prinsip dan sebagainya dalam konteks atau situasi yang lain. Misalnya menggunakan rumus statistic pemecahan masalah (problem solving cycle) didalam pemecahan masalah kesehatan dari kasus yang diberikan.
2.1.2.4 Analisis ( Analysis / C4)
Adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan meteri atau suatu objek kedalam komponen-komponen, tetapi masih didalam struktur organisasi tersebut dan masih ada kaitannya satu sama lain. Kemampuan analisis ini dapat dilihat dari penggunaan kata kerja, seperti dapat menggambarkan (membuat bagan), membedakan, memisahkan, mengelompokkan dan sebagainya.
2.1.2.5 Sintesis ( Synthesis / C5)
Sintesis menunjukkan sesuatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian didalam suatu bentuk keseluruhan yang baru. Dengan kata lain sintesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun formasi baru dar formasi-formasi yang telah ada.
2.1.2.6 Evaluasi ( Evaluation / C6)
Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan penelitian dengan suatu materi atau obyek penelitian-penelitian itu berdasarkan dari suatu kriteria yang ditentukan sendiri atau menggunakan kriteria-kriteria yang telah ada.
2.1.3 Tingkat Pengetahuan
Menurut Nursalam (2003) tingkat pengetahuan dibedakan atas:
Baik        : 76 – 100 %
Cukup        : 56 – 75 %
Kurang        : < 56 %
2.1.4 Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Pengetahuan
Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat pengetahuan dibedakan menjadi 2 faktor yaitu faktor internal dan faktor eksternal.
2.1.4.1 Faktor Internal
1)    Usia
Usia adalah umur individu yang terhitung mulai saat dilahirkan sampai saat berulang tahun. Semakin cukup umur, tingkat kematangan dan kekuatan seseorang akan lebih matang dalam berfikir dan berkerja. Dari segi kepercayaan masyarakat, seseorang yang lebih dewasa akan lebih dipercaya dari orang yang belum cukup tinggi kedewasaannya. Hal ini akibat sebagai hasil dari pengalaman dan kematangan jiwanya (Hurlock, 1999).
2)    Pengalaman
Merupakan sesuatu yang diperoleh dari pemikiran kritis seseorang dan kejadian yang belum tentu memiliki tujuan dan keteraturan. Pengalaman artinya berdasarkan pikiran kritis, akan tetapi pengalaman belum tentu teratur dan betujuan. Mungkin pengalaman tersebut hanya untuk dicatat saja (Soerjono Soekanto, 2001).
3)    Gizi
Merupakan suatu proses organisme menggunakan makanan yang dikonsumsi secara normal melalui proses digesti, absorbsi, transportasi, penyimpanan, metabolisme dan pengeluaran zat-zat yang tidak digunakan untuk mempertahankan kehidupan, pertumbuhan dan fungsi normal organ-organ serta menghasilkan energi (I Dewa Nyoman S, 2001).
2.1.4.2 Faktor Eksternal
1)    Pendidikan
Merupakan suatu sikap, usaha untuk memperoleh pengetahuan melalui pendidikan formal maupun informal. Makin tinggi tingkat pendidikan seseorang makin mudah menerima informasi sehingga makin banyak pula pengetahuan yang dimiliki. Sebaliknya pendidikan yang kurang akan menghambat perkembangan sikap seseorang terhadap nilai-nilai yang perlu diperkenalkan.
2)    Informasi
Adalah data yang telah diubah melalui suatu proses pengerjaan statistik yang secara potensial dapat menambah pengetahuan bagi peneliti atau pemakai.

3)    Media Masa
Adalah semua penyebaran berita sebagai surat kabar dan majalah (Badudu, 2001).
4)    Media Elektronika
Merupakan sarana penyebaran berita seperti radio dan televisi. (Badudu Zain, 2001). Seiring perkembangan teknologi media elektronika saat ini semakain berkembang tidak hanya melalui radio dan televisi tapi juga melalui internet dan kecanggihan sistem komputer.
5)    Lingkungan
Lingkungan adalah salah satu faktor yang dapat mempengaruhi pengetahuan. Lingkungan memberikan pengaruh sosial terutama bagi seseorang dimana seseorang dapat mempelajari hal-hal yang baik dan hal-hal yang buruk.
6)    Pekerjaan
Pekerjaan atau lingkungan pekerjaan dapat menjadikan seseorang memperoleh pengalaman dan pengetahuan baik secara langsung maupun secara tidak langsung.
2.1.5 Pengukur Tingkat Pengetahuan
        Mengukur tingkat pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket yang menyatakan tentang isi materi yang ingin diukur dari suatu obyek penelitian atau responden. Kedalam pengetahuan yang ingin kita ketahui atau kita ukur, dapat kita sesuaikan dengan tingkat-tingkatan pengetahuan di dalam domain kongnitif.


2.1.6 Cara Memperoleh Pengetahuan
Dari berbagai cara yang telah dilakukan untuk memperoleh kebenaran pengetahuan sepanjang sejarah, dapat dikelompokkan menjadi 2, yaitu:
2.1.6.1 Cara Tradisional
1) Cara Coba Salah (trial and error)
Cara ini paling tradisional dan telah dipakai orang sebelum adanya kebudayaan bahkan mungkin sebelum adanya peradaban. Cara coba-coba ini dilakukan dengan menggunakan kemungkinan dalam memecahkan masalah dan apabila kemungkinan tersebut tidak berhasil, dicoba kemungkinan yang lain sampai masalah tersebut dapat dipecahkan.
2) Cara Kekuasaan (otoritas)
Menguji atau membuktikan kebenarannya, baik berdasarkan faktor empiris maupun berdasarkan penalaran sendiri.
3) Berdasarkan pengalaman pribadi
Pengalaman pribadi dapat digunakan sebagai upayah memperoleh pengetahuan, hal ini dilakukan dengan cara mengulang kembali pengetahuan yang diperoleh dalam memecahkan permasalahan yang dihadapi pada masa lalu.
4) Melalui Jalan Pikiran
Sejalan dengan perkembangan kebudayaan umat manusia, cara berfikir manusia berkembang. Manusia telah mampu menggunakan penalarannya dalam memperoleh pengetahuan melalui jalan pikiran baik individu maupun deduksi pada dasarnya merupakan cara melahirkan pemikiran secara tidak langsung melalui pertanyaan yang dikemukakan, kemudian dicari hubungan sehingga dapat dibuat suatu kesimpulan. Apabila kesimpulan melalui pertanyaan khusus kepada umum yang dinamakan induksi, sedangkan deduksi membuat kesimpulan dari pertanyaan-pertanyaan umum kepada yang khusus.
2.1.6.2 Cara Moderen
Cara modern dalam memperoleh pengetahuan pada dewasa ini dapat sistematis, logika dan ilmiah. Cara ini disebut metode penelitian ilmiah, atau lebih popular disebut metote penelitian. Cara ini mengembangkan metode berikir induktif dan mengadakan pengamatan langsung terhadap gejala alam atau kemasyarakatan. Kemudian hasil penelitian tersebut dikumpulkan dan diklasifikasikan, diambil kesimpulan dan dilakukan observasi pada obyek yang diamati. Kemudian hal tersebut dijadikan dasar pengambilan kesimpulan atau generalisai. Selanjutnya diadakan pengabungan antara proses berfikir deduktif- induktif - verifikatif yang akhirnya lahir cara penelitian (Notoatmodjo, 2002).
2.2 Konsep Lansia
2.2.1 Pengertian Lanjut Usia
Lansia atau uisa tua adalah suatu periode penutup dalam rentang hidup
seseorang, yaitu suatu periode dimana seseorang telah beranjak jauh dari periode
terdahulu yang telah menyenangkan, atau beranjak dari waktu yang penuh manfaat (Hurlock, 2003).
2.2.2 Batasan Lanjut Usia
Negara-negara maju di Eropa dan Amerika menganggap batasan umur lansia adalah 65 tahun dengan pertimbangan bahwa pada usia tersebut orang akan
pensiun. Tetapi akhir-akhir ini telah dicapai consensus yang di tetapkan oleh
Badan Kesehatan Dunia World Health Organization (WHO) bahwa sebagai
batasan umur lansia adalah 60 tahun (Suryadi, 2003).
2.2.3 Status Kesehatan Lansia
Kesehatan dan status fungsional seorang lansia ditentukan oleh resultante dari faktor-faktor fisik, psikologik dan social ekonomi. Faktor-faktor tersebut tidak selalu sama besar perananya sehingga selalu harus di perbaiki bersamaan dengan perawatan pasien secara menyeluruh. Di Negara-negara sedang berkembang faktor sosial ekonomi atau financial hampir selalu merupakan kendala yang penting (Surayadi, 2003).
2.2.4 Perjalanan Penyakit Lansia
Pada umumnya perjalanan penyakit lansia adalah kronik (menahun),
diselingi dengan eksaserbasi akut. Selain dari pada itu penyakitnya bersifat
progresif yang mengakibatkan kecacatan. Yang lama sebelum akhirnya penderita
meninggal dunia. Penyakit yang progresif ini berbeda dengan penyakit pada usia
remaja atau dewasa yaitu tidak memeberikan proteksi atau imunitas tetapi justru
menjadikan lansia rentan terhadap penyakit lain karena daya dahan tubuh yang
makin menurun (Suryadi, 2003).
2.2.5 Sifat Penyakit Lansia
Sifat penyakit orang-orang pada lansia perlu sekali untuk dikenali supaya kita tidak salah ataupun terlambat menegakkan diagnosis, sehingga terapi dan tindakan lain yang mengikutinya dengan segera dapat di laksanakan, sebab penyakit pada orang-orang lansia umumnya lebih lebih bersifat endogen dari pada eksogen. Hal ini kemungkinan disebabkan karena menurunya fungsi berbagai alat tubuh karena proses menjadi tua. Selain itu produksi zat-zat untuk tahan tubuh akan  mengalami kemunduran. Oleh karena itu faktor penyebab eksogen (infeksi) akan lebih mudah hinggap. Seringkali juga terjadi penyebab penyakit pada lansia tersembunyi, sehingga perlu dicari secara sadar dan aktif. Keluhan-keluhan pasien lansia sering tidak khas, tidak jelas, apatik dan simptomatik. Oleh karena sifat-sifat simptomatik atau tidak khas tadi, akan mengakibatkan variasi individual
munculnya gejala dan tanda-tanda penyakit meskipun penyakitnya sama
(Surayadi, 2003).
2.2.6. Diagnosis Penyakit Pada Lansia
          Membuat diagnosa penyakit pada lansia pada umumnya lebih sukar
dibandingkan pasien usia remaja atau dewasa. Oleh karena menegakkan
diagnosis pasien lansia kita perlu melakukan observasi penderita agak lebih
lama, sambil dengan mengamati dengan cermat tanda-tanda dan gejala-gejala
penyakitnya yang juga sering kali tidak nyata. Dalam hal ini allo-anamneses
dari keluarga harus digali. Seringkali sebab penyakitnya bersifat berganda dan
kumulatif, terlapes satu sama lain ataupun saling mempengaruhi timbulnya
(suriyadi, 2003)
2.2.7. Perubahan yang Terjadi Pada Lansia
    Perubahan yang terjadi pada lansia meliputi perubahan fisik, mental, dan
psikososial.
2.2.7.1 Perubahan Fisik
Kekuatan fisik secara menyeluruh berkurang, merasa cepat lelah dan
stamina menurun, sikap badan yang semula tegap menjadi membungkuk,
otot-otot mengecil, hipotropis, terutama di bagian dada dan lengan, dan
pada kulit mengerut atau kriput akibat kehilangan jaringan lemak,
permukaan kulit kasar dan bersisik karena kehilangan proses keratinasi
serta perubahan ukuran dan bentuk sel epidermis. Sedangkan pada rambut
telah memutih dan pertumbuhan berkurang sedang rambut dalam hidung
dan telinga mulai menebal. Dan perubahan pada indra misalnya pada
penglihatan, hilangnya daya akomodasi. Pada pendengaran pengumpulan
serumen dapat terjadi karena meningkatnya kreatinin. Dan selanjutnya adalah pengapuran pada tulang rawan, seperti tulang dada sehingga dada
menjadi kaku dan sulit bernafas.
2.2.7.2 Perubahan Sosial
Perubahan sosial yang terjadi adalah perubahan peran post power
syndrome, single women, dan single parent. Dan ketika lansia lainnya
meninggal maka muncul perasaan kapan akan meninggal, terjadinya
kepikunan yang dapat mengganggu dalam bersosialisasi serta emosi
mudah berubah, sering marah- marah dan mudah tersinggung.
2.2.7.3  Perubahan Psikologi
Perubahan pada lansia meliputi short term memory. Frustasi, kesepian,
takut kehilangan kebebasan, takut menghadapi kematian, perubahan
depresi dan kecemasan.
2.3  Konsep Diabetes Mellitus
2.3.1        Pengertian Diabetes Melitus
Diabetes melitus merupakan suatu kelompok kelainan heterogen yang ditandai oleh kenaikan kadar glukosa dalam darah atau hyperglikemia. Glukosa secara normal bersirkulasi dalam jumlah tertentu dalam darah. Glukosa dibentuk di hati dari makanan yang dikonsumsi (Brunner & Suddarth, 2002).
2.3.2        Tipe Diabetes Melitus
Klasifikasi DM menurut American Diabetes Association (1997) sesuai anjuran Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (PERKENI) adalah:
2.3.2.1  Diabetes Tipe 1: Insulin Dependent Diabetes Mellitus (IDDM)
2.3.2.2  Diabetes tipe II: Diabetes melitus tidak tergantung insulin (Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus [NIDDM]), terjadi akibat penurunan sensitivitas terhadap insulin (resistensi insulin) atau akibat penurunan jumlah produksi insulin
2.3.2.3  Diabetes Melitus tipe lain
2.3.3.4 Diabetes Melitus Gestasional (Gestasional Diabetes Mellitus [GDM])
2.3.3        Etiologi Diabetes Melitus
Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM) atau Diabetes Melitus Tidak Tergantung Insulin (DMTTI) disebabkan karena kegagalan relatif sel ? dan resistensi insulin. Resistensi insulin adalah turunnya kemampuan insulin untuk merangsang pengambilan glukosa oleh jaringan perifer dan untuk menghambat produksi glukosa oleh hati. Sel ? tidak mampu mengimbangi resistensi insulin ini sepenuhnya, artinya terjadi defisiensi relatif insulin. Ketidakmampuan ini terlihat dari berkurangnya sekresi insulin pada rangsangan glukosa, namun pada rangsangan glukosa bersama bahan perangsang sekresi insulin lain. Berarti sel ? pankreas mengalami desensitisasi terhadap glukosa (Kapita Selekta Kedokteran, 2001).



2.3.4        Patofisiologi Diabetes Melitus  (Suddarth, 2002)
2.3.4.1  Diabetes Tipe I
Terdapat ketidakmampuan untuk menghasilkan insulin karena sel-sel ? pankreas telah dihancurkan oleh proses autoimun. Glukosa yang berasal dari makanan tidak dapat disimpan dalam hati meskipun tetap berada dalam darah dan menimbulkan hiperglikemia postprandial (sesudah makan). Jika konsentrasi glukosa dalam darah cukup tinggi, ginjal tidak dapat menyerap kembali semua glukosa yang tersaring keluar akibatnya glukosa tersebut diekskresikan dalam urin (glukosuria). Ekskresi ini akan disertai oleh pengeluaran cairan dan elektrolit yang berlebihan, keadaan ini dinamakan diuresis osmotik. Pasien mengalami peningkatan dalam berkemih (poliuria) dan rasa haus (polidipsi)
2.3.4.2  Diabetes Tipe II
Terdapat dua masalah utama yang berhubungan dengan insulin, yaitu: resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin. Normalnya insulin akan terikat dengan reseptor khusus pada permukaan sel. Sebagai akibat terikatnya insulin dengan reseptor tersebut, terjadi suatu rangkaian reaksi dalam metabolisme glukosa di dalam sel. Resistensi insulin pada diabetes tipe II disertai dengan penurunan reaksi intrasel, dengan demikian insulin menjadi tidak efektif untuk menstimulasi pengambilan glukosa oleh jaringan. Untuk mengatasi resistensi insulin dan mencegah terbentuknya glukosa dalam darah harus terdapat peningkatan insulin yang disekresikan. Pada penderita toleransi glukosa terganggu, keadaan ini terjadi akibat sekresi insulin yang berlebihan dan kadar glukosa akan dipertahankan pada tingkat yang normal atau sedikit meningkat. Namun jika sel-sel ? tidak mampu mengimbangi peningkatan kebutuhan akan insulin maka kadar glukosa akan meningkat danterjadi diabetes tipe II. Meskipun terjadi gangguan sekresi insulin yang merupakan ciri khas diabtes tipe II, namun terdapat jumlah insulin yang adekuat untuk mencegah pemecahan lemak dan produksi badan keton. Oleh karena itu, ketoasidosis diabetik tidak terjadi pada diabetes tipe II. Meskipun demikan, diabetes tipe II yang tidak terkontrol dapat menimbulkan masalah akut lainnya yang dinamakan sindrom hiperglikemik hiperosmoler nonketotik. Akibat intoleransi glukosa yang berlangsung lambat dan progresif, maka awitan diabetes tipe II dapat berjalan tanpa terdeteksi, gejalanya sering bersifat ringan dan dapat mencakup kelelahan, iritabilitas, poliuria, polidipsia, luka pada kulit yang tidak sembuh-sembuh, infeksi dan pandangan yang kabur.
2.3.4.3  Diabetes Gestasional
Terjadi pada wanita yang tidak menderita diabetes sebelum kehamilannya. Hiperglikemia terjadi selama kehamilan akibat sekresi hormone-hormon plasenta. Sesudah melahirkan bayi, kadar glukosa darah pada wanita yang menderita diabetes gestasional akan kembali normal.
2.3.5        Manifestasi Klinis
Diagnosis DM Tipe II (Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus) ditandai dengan adanya gejala berupa polifagia, poliuria, polidipsia, lemas dan berat badan turun. Gejala lain yang mungkin dikeluhkan pasien adalah kesemutan, gatal, mata kabur dan impoteni pada pria serta pruritus vulva pada wanita.

2.3.6        Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penyaring perlu dilakukan pada kelompok dengan resiko tinggi untuk DM, yaitu kelompok usia dewasa tua (> 40 tahun), obesitas, tekanan darah tinggi, riwayat keluarga DM, riwayat kehamilan dengan berat badan bayi > 4000 gr, riwayat DM pada kehamilan dan dislipidemia. Pemeriksaan penyaring dapat dilakukan dengan pemeriksan glukosa darah sewaktu, kadar glukosa darah puasa. Kemudian dapat diikuti dengan Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO) standar.
Cara pemeriksaan TTGO (WHO, 1985) adalah:
1)        Tiga hari sebelum pemerksaan pasien makan seperti biasa.
2)        Kegiatan jasmani sementara cukup, tidak terlalu banyak.
3)        Pasien puasa semalam selama 10-12 jam.
4)        Perikasa glukosa darah puasa.
5)        Berikan glukosa 75 gr yang dilarutkan dalam air 250 ml, lalu minum dalam waktu 5 menit.
6)        Perikasa glukosa darah 1 jam dan 2 jam sesudah beban glukosa.
7)        Selama pemeriksaan, pasien yang diperisa tetap istirahat dan tidak merokok.
Keluhan dan gejala yang khas ditambah hasil pemeriksaan glukosa darah sewaktu  > 200 mg/dl sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM. bila hasil pemeriksaan glukosa darah meragukan, pemeriksaaan TTGO diperlukan untuk memastikan diagnosis DM. Untuk diagnosis DM dan gangguan toleransi glukosa lainnya diperiksa glukosa darah 2 jam setelah beban glukosa. Sekurang-kurangnya diperlukan kadar glukosa darah 2 kali abnormal untuk konfirmasi diagnosis DM pada hari yang alain atau TTGO yang abnormal.  Kadar glukosa darah sewaktu dan puasa dengan metode enzimatik sebagai patokan penyaring dan diagnosis (mg/dl).
2.4  Konsep Sikap
2.4.1    Pengertian Sikap
            Sikap pada awalnya diartikan sebagai suatu syarat untuk munculnya suatu tindakan. Fenomena sikap adalah mekanisme mental yang mengevaluasi, membentuk pandangan, mewarnai perasaan, dan ikut menentukan kecenderungan perilaku kita terhadap manusia atau sesuatu yang kita hadapi, bahkan terhadap diri kita sendiri. Pandangan dan perasaan kita terpengaruh oleh ingatan akan masa lalu, oleh apa yang kita ketahui dan kesan kita terhadap apa yang sedang kita hadapi saat ini ( Azwar, 2005 ).
            Azwar ( 2005 ), menggolongkan definisi sikap dalam tiga kerangka pemikiran. Pertama, sikap adalah suatu bentuk evaluasi atau reaksi perasaan. Berarti sikap seseorang terhadap suatu objek adalah perasaan mendukung atau tidak memihak (favorable) maupun perasaan tidak  mendukung atau tidak memihak (unfavorable) pada objek tersebut. Kedua, sikap merupakan semacam kesiapan untuk bereaksi terhadap suatu objek dengan cara-cara tertentu. Ketiga, skema triadik (triadic schema). Menurut pemikiran ini suatu sikap merupakan konstelasi komponen kognitif, afektif, dan konatif yang saling berinteraksi didalam memahami, merasakan dan berperilaku terhadap suatu objek.
2.4.2        Menurut Azwar ( 2009) Struktur Sikap antara lain :
2.4.2.1  Struktur sikap dibagi menjadi 3 komponen yang saling menunjang yaitu :

1)      Komponen Kognitif ( komponen perseptual )
Berisi kepercayaan seseorang mengenai apa yang berlaku atau apa yang benar bagi objek sikap.
2)      Komponen Afektif  ( Komponen emosional )
Menyangkut masalah emosional subjektif seseorang terhadap suatu objek sikap. Secara umum, komponen ini disamakan dengan perasaan yang dimiliki terhadap sesuatu.
3)      Komponen Konatif ( komponen prilaku )
Menunjukan bagaimana kecenderungan berperilaku yang ada dalam diri seseorang yang berkaitan dengan objek sikap yang dihadapinya.
2.4.3        Fungsi Sikap
2.4.3.1  Fungsi Instrumental
Dikaitkan dengan alasan praktis atau manfaat dan menggambarkan keadaan keinginan.
2.4.3.2  Fungsi Pertahanan Ego
Diambil individu dalam rangka melindungi diri dari kecemasan atau ancaman harga dirinya.
2.4.3.3  Fungsi Nilai Ekspresi
Mengekpresikan nilai yang ada dalam diri individu. Sistem nilai apa yang ada pada diri individu, dapat dilihat dari sikap yang diambil oleh individu yang bersangkutan terhadap nilai tertentu.



2.4.3.4  Fungsi Pengetahuan
Membantu individu untuk memahami dunia yang membawa keteraturan terhadap bermacam-macam informasi yang perlu diasimilasikan dalam kehidupan sehari-hari.
2.4.3.5  Fungsi Penyesuaian Sosial
Membantu individu merasa menjadi bagian dari masyarakat. Dalam hal ini, sikap yang diambil individu tersebut akan dapat menyesuaikan dengan lingkungannya.
2.4.4        Tingkatan Sikap
Menurut Notoatmodjo ( 2003 ) sikap terdiri dari berbagai tingkatan yakni :
2.4.4.1  Menerima ( receiving )
Menerima diartikan bahwa orang ( subyek ) mau dan memperhatikan stimulus yang diberikan (obyek).
2.4.4.2  Merespon (responding)
Memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan dan mnyelesaikan tugas yang diberikan adalah suatu indikasi sikap karena dengan suatu usaha untuk menjawab pertanyaan atau mengerjakan tugas yang diberikan. Lepas pekerjaan itu benar atau salah adalah berarti orang menerima ide tersebut.

2.4.4.3  Menghargai (valuing)
Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan dengan orang lain terhadap suatu masalah adalah suatu indikasi sikap tingkat tiga.
2.4.4.4  Bertanggung jawab (responsible)
Bertanggung jawab atas segala sesuatuyang telah dipilihnya dengan segala resiko.
2.4.5        Sifat Sikap
Sikap dapat pula bersifat negatif dan dapat pula bersifat positif :
2.4.5.1  Sifat negatif terdapat kecenderungan untuk menjauhi, menghindari, membenci, tidak menyukai objek tertentu.
2.4.5.2  Sifat positif kecenderungan tindakan adalah mendekati, menyenangi, mengharapkan onyek tersebut (Purwanto,H. 1998)
2.4.6        Ciri-ciri Sikap
Ciri-ciri sikap adalah :
2.4.6.1  Sikap bukan dibawa sejak lahir melainkan dibentuk atau dipelajari sepanjang perkembangan orang itu dalam hubungan dengan obyeknya. Sifat ini membedakannya dengan sifat motif-motif biogenetis seperti lapar, haus, kebutuhan akan istirahat.
2.4.6.2  Sikap dapat berubah-ubah karena itu sikap dapat dipelajari dan karena itu pula sikap dapat berubah pada orang-orang bila terdapat keadaan-keadaan dan syarat-syarat tertentu yang mempermudah sikap pada orang itu.
2.4.6.3  Sikap tidak berdiri sendiri, tetapi senantiasa mempunyai hubungan tertentu terhadap suatu obyek. Dengan kata lain, sikap itu terbentuk, dipelajari atau berubah senantiasa berkenaan dengan suatu obyek tertentu yang dapat dirumuskan dengan jelas.
2.4.6.4  Obyek sikap itu merupakan satu hal tertentu tetapi dapat juga merupakan kumpulan dari hal-hal tersebut.
2.4.6.5  Sikap mempunyai segi motivasi dan segi-segi perasaan, sifat inilah yang membedakan sikap dari kecakapan-kecakapan atau pengetahuan-pengetahuan yang dimiliki orang.
2.4.7        Pembentukan Sikap
Sikap terbentuk dari adanya interaksi yang dialami oleh individu. Sikap dibentuk sepanjang perkembangan hidup manusia. Melalui pengalaman berinteraksi dengan lingkungan sosialnya, seseorang membentuk sikap tertentu. Dalam interaksi sosial terjadi hubungan saling mempengaruhi diantara individu yang satu dengan yang lain. Melalui interaksi sosialnya individu bereaksi membentuk pola sikap tertentu terhadap objek psikologis yang dihadpi (Azwar, 2005).
2.4.8        Perubahan Sikap
Proses perubahan sikap perlu dipusatkan pada cara-cara manipulasi atau pengendalian situasi dan lingkungan untuk menghasilkan perubahan sikap kearah yang dikehendaki. Dasar-dasar manipulasi diperoleh dari pemahaman mengenai organisasi sikap, faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan dan proses perubahan sikap.
            Pada teori Kelman (dalam Azwar, 2005) ditunjukan bagaiman sikap dapat berubah melalui tiga proses yaitu kesedihan, identifikasi, dan internasilisasi. Kesediaan terjadi ketika individu bersedia menerima pengaruh dari orang lain atau kelompok lain dikarenakan individu berharap untuk memperoleh reaksi atau tanggapan positif dari pihak lain tersebut. Identifikasi terjadi saat individu meniru perilaku atau sikap seseorang atau sikap sekelompok lain dikarenakan sikap tersebut sesuai dengan apa yang dianggap individu sebagai bentuk hubungan yang menyenangkan antara individu dengan pihak lain termaksud. Internalisasi terjadi saat individu menerima pengaruh dan bersedia bersikap menurut pengaruh itu dikarenakan sikap tersebut sesuai dengan apa yang dipercayai individu dan sesuai denga sistem nilai yang dianutnya.
            Proses mana yang akan terjadi di ketiga proses tersebut banyak bergantung pada sumber kekuatan pihak yang mempengaruhi, berbagai kondisi yang mngendalikan masing-masing proses terjadinya pengaruh, dan impilikasinya terhadap permanensi sikap (Kelman, dalam Azwar 2005).
2.4.9        Cara Pengukuran Sikap
Salah satu masalah metodologi dasar dalam psikologi sosial adalah bagaiman mengukur sikap seseorang. Beberapa teknik pengukuran sikap antara lain : Skala Thrustone, Likert, Unobstrusive Measures, Analisis Skalogram dan Skala Kumulatif, dan Multidimensional Scaling.
2.4.9.1  Skala Thrustone (Method of Equel-Appearing intervals).
Metode ini mencoba menempatkan sikap seseorang pada rentangan kontinum dari yang sangat unfavorabel hingga sangat fafovabel terhadap suatu obyek sikap. Caranya denga memberikan orang tersebut sejumlah item sikap yang telah ditentukan darajat favorabilitasnya. Tahap yang paling kritis dalam menyusun alat ini seleksi awal terhadap pernyataan sikap dan perhitungan ukuran yang mencerminkan derajat favorabilitas dari masing-masing pernyataan. Derajat (ukuran) faforabilitas ini disebut nilai skala.
Untuk menghitung nilai skala dan memilih pernyataan sikap, pembuat skala perlu membuat sampel pernyataan sikap sekitar 100 buah atau lebih. Pernyataan-pernyataan itu kemudian diberikan kepada beberapa orang penilai (judges). Penilai ini bertugas untuk menentukan derajat favorabilitas masing-masing pernyataan. Favorabilitas penilai itu diekspresikan melalui titik skala ranting yang memiliki rentang 1-11. Sangat tidak setuju 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 Sangat setuju. Tugas penilai ini bukan untuk menyampaikan setuju tidaknya mereka terhadap pernyataan itu. Median atau rerata perbedaan penilaian antar penilai terhadap aitem ini kemudian dijadikan sebagai nilai skala masing-masing aetem. Pembuat skala kemudian menyusun aetem mulai dari aetem yang memiliki nilai skala terendah hingga tertinggi. Dari aetem-aetem tersebut, pembuat skala kemudian memilih aetem untuk kuesioner skala sikap yang sesungguhnya. Dalam penelitian, skala yang telah dibuat ini kemudian diberikan pada responden. Responden diminta untuk menunjukan seberapa besar kesetujuan atau ketidak setujuannya pada masing-masing aetem sikap tersebut.
Teknik ini disusun oleh Thrustone didasarkan pada asumsi-asumsi, ukuran sikap seseorang itu dapat digambarkan dengan interval skala sama. Perbedaan yang sama pada suatu skala mencerminkan perbedaan yang sama pula dalam sikapnya. Asumsi kedua adala nilai skala yang berasal dari rating para penilai tidak dipengaruhi oleh sikap penilai terhadap isue. Penilai melakukan ranting terhadap aetem dalam tataran yang sama terhadap isue tersebut.


2.4.9.2  Skala Likers (Menthod of Summateds Ratings).
Likers (1932) mengajukan metodenya sebagai alternatif yang lebih sederhana dibandingkan dengan skala Thurstone. Skala Thurstone yang terdiri dari 11 point disederhanakan menjadi 2 kelompok, yaitu yang favorabel dan yang unfavorabel. Sedangkan aetem yang netral tidak disertakan. Untuk megatasi hilangnya netral tersebut, Likers menggunakan teknik kontruksi test yang lain. Masing-masing responden diminta melakukan egreement atai disegreementnyauntuk masing-masing aetem dalam skala yang terdiri dari 5 point (Sangat setuju,  Setuju, Ragu-ragu, Tidak setuju, Sangat tidak setuju). Semua aetem yang favorabel kemudian diubah nilainya dalam angka, yaitu untuk sangat setuju nilainya 0 dan untuk yang sangat tidak setuju nilainya 0. Sebaliknya untuk aetem yang unfavorabel nilai skala Sangat setuju adalah 0 sedangkan untuk yang sangat tidak setuju nilainya 4. Seperti halnya skala Thurstone, skala Likers disusun dan diberi skor sesuai dengan skala interval sama (equal-interval scale).
2.4.9.3  Unobstruksive Measures.
Metode ini berakar dari suatu situasi dimana seseorang dapat mencatat aspek-aspek perilakunya sendiri atau yang berhubugan sikapnya dalam pertanyaan.
2.4.9.4  Multidimensional Scaling.
Teknik ini memberikan deskripsi seseorang lebih kaya bila dibandingkan dengan pengukuran sikap yang bersifat unidimensional. Namun demikian, pengukuran ini kadangkala menyebabkan asumsi-asumsi mengenai stabilitas struktur dimensinal kurang valid terutama apabila diterapkan pada orang lain, lain isu, dan lain skala aetem.
2.3.10  Faktor-faktor yang Mempengaruhi Sikap
            Faktor-faktor yang mempengaruhi sikap keluarga terhadap obyek sikap antara lain:
2.3.10.1 Pengalaman Pribadi
                        Pengalaman yang terjadi secara tiba-tiba atau mengejutkan yang meninggalkan kesan paling mendalam pada jiwa seseorang. Kejadian-kejadian dan peristiwa-peristiwa yang terjadi berulang-ulang dan terus menerus, lama-kelamaan secara bertahap diserap kedalam individu dan mempengaruhi terbentuknya sikap.
2.3.10.2 Pengaruh Orang Lain yang dianggap penting
                        Dalam pembentukan sikap pengaruh orang lain sangat berperan. Misal dalam kehidupan masyarakat yang hidup dipedesaan, mereka akan mengikuti apa yang diberikan oleh tokoh masyarakat.
2.3.10.3 Kebudayaan
Dimana kita hidup mempunyai pengaruh yang besar terhadap pembentukan sikap. Dalam kehidupan dimasyarakat, sikap masyarakat diwarnai dengan kebudayaan yang ada di daerahnya.
2.3.10.4 Media Massa
Media massa elektronik maupun media cetak sangat besar pengaruhnya terhadap pembentukan opini dan kepercayaan seseoarang. Dengan pemberian informasi melalui media massa mengenai sesuatu hal akan memberikan landasan kognitif baru bagi terbentuknya sikap.
2.3.10.5 Lembaga Pendidikan dan Lembaga Agama
Dalam lembaga pendidikan dan lembaga agama berpengaruh dalam pembentukan sikap, hal ini dikarenakan keduanya meletakkan dasar pengertian dan konsep moral dalam diri individu.
2.3.10.6 Emosional
Sikap yang dilandasi oleh emosi yang fungsinya hanya sebagai penyaluran frustasi atau pengalihan bentuk mekanisme pertahanan ego, sikap yang demikian merupakan sikap sementara dan segera berlalu setelah frustasinya menghilang, namun bisa juga menjadi sikap yang lebih persisisten dan bertahan lama (Azwar, 2009).
2.3.11    Nilai, Kepercayaan, Sikap
Nilai (Value) dan opini atau pendapat sangat erat berkaitan dengan sikap, bahkan kedua konsep tersebut seringkali digunakan dalam definisi-definisi mengenai sikap. Nilai merupakan disposisi yang lebih luas dan sifatnya lebih mendasar. Nilai berakar lebih dalam dan karenanya lebih stabil dibandingkan sikap individu. Jadi, nilai bersifat lebih mendasar dan stabil sebagai bagian dari ciri kepribadian, sikap bersifat evaluatif da berakar pada nilai yang dianut dan terbentuk dalam kaitannya dengan suatu obyek.
2.3.12    Sikap dan Perilaku
Sikap menjadi perilaku dapat dilihat dalam dua pendekatan. Pertama, teori perilaku beralasan mengatakan bahwa seseorang akan melakukan suatu perbuatan apabila ia memandang perbuatan itu positif dan ia percaya bahwa orang lain ingin agar ia melakukannya. Kedua, teori perilaku terencana menyatakan keyakinan-keyakinan berpengaruh pada sikap terhadap perilaku tertentu, pada norma-norma subyektif, dan pada kontrol perilaku yang dihayati. Sikap terhadap suatu perilaku dipengaruhi oleh keyakinan bahwa perilaku tersebut akan membawa kepada hasil yang diinginkan atau tidak diinginkan.
2.3.13    Konsisitensi Sikap-Perilaku
Sikap merupakan suatu respons evaluatif. Respon hanya akan timbul apabila individu dihadapkan pada suatu stimulus yang menghendaki adanya reaksi individual. Respon evaluatif berarti bahwa bentuk reaksi yang dinyatakan sebagai sikap itu timbulnya didasari oleh proses evaluasi dalam diri individu yang memberi kesimpulan terhadap stimulus dalam bentuk nilai baik-buruk, positif-negatif, menyenangkan tidak menyenangkan, yang kemudian mengkristal sebagai potensi reaksi terhadap objek sikap. Potensi reaksi itu akhirnya dinyatakan dalam bentuk reaksi perilaku yang konsisten atau sesuai apabila individu dihadapkan pada stimulus sikap.
Postulat konsisitensi tergantung menyatakan bahwa hubungan sikap dan perilaku sangat ditentukan oleh faktor-faktor situasional tertentu kondisi apa, waktu apa, dan situasi bagaimana saat individu tersebut harus mengekpresikan sikapnya merupakan sebagian determinan-determinan yang sangat berpengaruh terhadap konsisitensi antar sikap dan pernyataannya dan antar pernyataan sikap dan perilaku.
Sikap seharusnya dipandang sebagai suatu predisposisi untuk berperilaku yang akan tampak aktual hanya bila kesempatan untuk menyatakannya terbuka luas. Menurut Mann dalam Azwar (2005), mengatakan bahwa sekalipun sikap merupakan predisposisi evaluatif yang banyak menentukan bagaimana individu bertindak, akan tetapi sikap dan tindakan nyata seringkali jauh berbeda. Hal ini dikarenakan tindakan nyata tidak hanya ditentukan oleh sikap semata, akan tetapi oleh berbagai faktor eksternal lainnya. Pada dasarnya, sikap memang lebih bersikaf pribadi sedangkan tindakan atau kelakuan lebih bersifat umum atau sosial, karena itu tindakan lebih peka terhadap tekanan-tekenan sosial
2.5  Konsep diet rendah gula
2.51 Pengertian Diet
Diet adalah mengatur pola makan sehat dengan asupan jumlah kalori dan nutrisi yang benar dan tepat, dan bukan mengurangi jumlah makanan yang akan membuat tubuh kita menjadi lemas dan kehilangan mood sehingga tubuh malah akan memproduksi hormon stres (kortisol) dan radikal bebas yang lebih banyak.
2.5.2        Perencanaan Makan
Tujuan penatalaksanan diet pada penderita diabetes adalah:
1)        Memberikan semua unsur makanan esensial (mis. Vitamin dan mineral)
2)        Mencapai dan mempertahankan berat badan yang sesuai
3)        Memenuhi kebutuhan energy
4)        Mencegah fluktuasi kadar glukosa darah setiap harinya dengan mengupayakan kadar glukosa darah mendekati normal melalui cara-cara yang aman dan praktis
5)        Menurunkan kadar lemak darah jika kadar ini meningkat
6)        Mencegah komplikasi akut dan kronik
7)        Meningkatkan kualitas hidup
Prinsip dasar diit diabetes adalah pemberian kalori sesuai dengan kebutuhan. Cara sederhana untuk mengetahui kebutuhan dasar adalah sebagai berikut: Untuk wanita : (Berat Badan Ideal x 25 kalori) ditambah 20 % untuk aktifitas Untuk pria : (Berat Badan Ideal x 30 kalori) ditambah 20 % untuk aktifitas Prinsip kedua adalah menghindari konsumsi gula dan makanan ynag mengandung gula didalamnya. Sebaiknya juga menghindari konsumsi hidrat arang hasil dari pabrik yang berupa tepung dengan segala produknya. Hidrat arang olahan ini akan lebih cepat diubah menjadi gula di dalam darah. Prinsip ketiga adalah mengurangi konsumsi lemak dalam makanan sehari-hari. Tubuh penderita diabetes akan lebih mengalami kelebihan lemak darah, kelebihan lemak ini berasal dari gula darah yang tidak terpakai sebagai energi. Prinsip keempat adalah memperbanyak konsumsi serat dalam makanan. Yang terbaik adalah serat yang larut air seperti pectin (ada dalam buah apel), segala jenis kacang-kacangan dan biji-bijian (asal tidak digoreng!). serat larut air ini terbukti dapat menurunkan kadar gula darah. Semua jenis serat akan memperbaiki pencernaan, mempercepat masa transit usus, serta memperlambat penyerapan gula dan lemak. Perencanaan makan bagi penderita diabetes sesuai standar yang dianjurkan adalah makanan dengan komposisi: Karbohidrat 60-70%, protein 10-15%, lemak 20-25%.makanan dengan komposisi KH sampai 70-75% masih memberikan hasil yang baik. Jumlah kandungan kolesterol disarankan < 300 mg/hari. Diusahakan lemak berasal dari sumber asam lemak tidak jenuh (MUFA, Mono Unsaturated Fatty Acid) dan membatasi PUFA (Poly Unsaturated Fatty Acid) dan asam lemak jenuh. Jumlah kandungan serat 25 gr/hari, diutamakan serat larut. Pemanis buatan yang tidak bergizi, yang aman dan dapat diterima untuk digunakan pasien diabetes termasuk yang sedang hamil adalah: sakarin, aspartame, acesulfame, potassium dan sucralose (PERKENI, 2002). Jumlah kalori disesuaikan dengan pertumbuhan, status gizi, umur, ada tidaknya stress akut dan kegiatan jasmani.



















2.4           

Lansia

 
Kerangka Konsep





Tingkat Pengetahuan lansia tentang DM:
1.    C 1 ( Tahu )
2.    .C 2 (Memahami)
 
                       







Flowchart: Process: Faktor Internal :
1. Usia
2. Pengalaman
3. Gizi






                                                                                                
























 = Diteliti                             
                                  =Tidak Diteliti

Gambar 2.1 Kerangka konsep hubungan tingkat pengetahuan lansia tentang diabetes mellitus dengan sikap diet rendah gula di Desa Kalanganyar Sedati-Sidoarjo RW 04
2.3      Hipotesis
Hipotesis adalah jawaban sementara dari rumusan masalah atau pertanyaan penelitian.
Hipotesis nol (H0) berarti tidak ada hubungan antara variabel – variable yang diteliti dan Hipotesis Alternative (H1) berarti ada hubungan antara variabel yang diteliti (Nursalam, 2003).
Hipotesis pada penelitian ini (H1) adalah ada hubungan antara tingkat pengetahuan dengan kepatuhan pengobatan penyakit DM pada penderita penyakit DM di desa kalanganyar RW 04 sedati sidoarjo
BAB 3
METODE PENELITIAN

3.1      Desain Penelitian
Merupakan strategi untuk mencapai tujuan penelitian yang telah ditetapkan dan berperan sebagai pedoman untuk penuntun peneliti pada seluruh proses penelitian (Nursalam, 2003). Dalam penelitian ini desain yang digunakan adalah deskriptif korelasional yang menggambarkan tentang hubungan antara suatu gejala dengan peristiwa yang mungkin akan timbul dengan munculnya gejala tersebut. Dalam penelitian ini peneliti mencari sumber kebenaran bahwa adanya variabel bebas yang menyebabkan variabel tergantung dan dilakukan dengan desain cross sectional yaitu variabel – variabelnya diamati dan dikumpulkan dalam waktu yang sama dan dalam waktu tertentu.
3.2      Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian akan dilakukan pada tanggal Januari sampai Maret 2012 di Desa Kalanganyar RW 04 Sedati Sidoarjo.
3.3      Kerangkan Penelitian (Kerja)
Merupakan langkah – langkah dalam aktivitas ilmiah, mulai dari penetapan populasi, sampel dan seterusnya yaitu kegiatan sejak awal penelitian akan dilaksanakan. (Nursalam, 2003).










1 komentar: